SEJARAH Kelahiran PROPER tidak dapat dilepaskan dari program kali bersih (PROKASIH). Dari PROKASIH, ditarik satu pelajaran penting, bahwa pendekatan pengelolaan lingkungan konvensional “command and control” ternyata tidak dapat mendorong peningkatan kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan secara menyeluruh. Pada awal pelaksanaan PROKASIH, sistem penegakan hukum lingkungan masih lemah, sistem peraturan belum memadai dan kapasitas serta jumlah pengawas lingkungan hidup juga masih terbatas. Tahun 1990-an, sulit mengharapkan industri patuh terhadap peraturan dan bersedia menginvestasikan uang untuk membangun IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Bahkan jika mereka sudah investasi, sulit untuk mengharapkan IPAL tersebut dioperasikan secara benar.
Bank Dunia (1990) menemukan terjadinya ketimpangan dalam pola pembuangan beban pencemaran industri ke sungai. Sekitar 10% industri peserta PROKASIH ternyata menghasilkan 50% dari total BOD yang dibuang oleh seluruh industri yang diawasi. Jika distribusi ini ditarik lebih ke atas, ternyata 75% dari total BOD yang dibuang oleh industri PROKASIH “hanya” dihasilkan oleh 20% industri. Industri yang benar-benar “bersih” jumlahnya kurang dari 50% dan kontribusinya relatif kecil, yaitu 5% dari total beban pencemarannya yang dibuang ke sungai PROKASIH.
Pendekatan command and control akan efektif jika sistem yang ada mampu memastikan seluruh entitas yang diatur patuh terhadap peraturan yang ditetapkan. Pelajaran penting lain dari PROKASIH adalah, pertama, 10% dari industri yang membuang air limbah dengan beban pencemaran tinggi merupakan target utama pengawasan. Pengawasan akan efektif jika dilakukan pada target-target pengawasan selektif, yakni industri-industri yang menimbulkan dampak paling signifikan terhadap lingkungan. Pertanyaan kemudian muncul, mengapa industri yang berada pada kondisi pengawasan yang sama-sama masih lemah menunjukkan tingkat ketaatan yang sangat berbeda? Ada industri yang setelah diawasi menunjukkan lompatan kinerja pengelolaan lingkungan yang luar biasa; mereka sangat peduli dan menempatkan urusan ini sebagai salah satu prioritas utama. Ada juga industri yang jalan di tempat, tidak peduli dengan limbah yang dihasilkan, tidak peduli dengan sungai yang tercemar dan tidak peduli teguran pejabat pengawas lingkungan hidup.
Mengapa kondisi seperti ini terjadi? Ternyata salah satu faktor penyebabnya adalah sifat pendekatan pengelolaan konvensional (command and control) yang hanya melibatkan dua aktor, yaitu pemerintah sebagai pengawas dan industri sebagai pihak yang diawasi. Sesuai dengan hukum aksi-reaksi, maka jika pengawasan dilakukan dengan ketat, pihak yang diawasi merespon dengan patuh terhadap peraturan atau berpura-pura patuh pada saat diawasi. Sebaliknya, jika pengawasan lemah maka pihak yang diawasi merasa bebas untuk berbuat sembarangan dan melanggar peraturan.
Jika proses pengawasan—penegakan hukum formal memerlukan waktu dan biaya yang besar bagi kedua belah pihak, di mana kedua belah pihak harus saling berkonfrontasi untuk membuktikan argumentasi masing-masing, maka pengawasan oleh masyarakat dan pasar bermain dengan lebih halus dan sesuai dengan sifat-sifat dasar manusia.
Sebagai makhluk sosial, manusia berinteraksi dan memerlukan pengakuan atau reputasi agar eksistensinya diakui. Industri yang tidak beroperasi dengan bertanggung jawab dapat dihukum oleh masyarakat dengan tidak memberikan “izin sosial” bagi industri tersebut. Tanpa izin sosial, industry tidak dapat beroperasi dengan nyaman, bahkan pada tingkat interaksi tertentu, industri harus membayar ongkos yang tinggi untuk menangani ketidakharmonisan hubungan dengan masyarakat. Waktu, tenaga dan aset yang semestinya digunakan untuk aktivitas yang menghasilkan laba, ternyata harus habis untuk berurusan dengan masalah sosial. Industri sebagai pengejawantahan orang-orang yang ada di dalamnya, akan merasa tidak nyaman kalau teralieniasi dari lingkungan sosialnya.
Sedangkan pasar akan menghukum perusahaan yangmempunyai reputasi jelek di bidang lingkungan dengan mekanisme supply-and-demand-nya. Konsumen yang sadar lingkungan akan memilih produk dan jasa yang ramah lingkungan. Jumlah konsumen jenis ini dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat terhadap perlindungan lingkungan semakin banyak jumlahnya. Industri yang mempunyai reputasi buruk dalam pengelolaan lingkungan akan ditinggalkan pasar. Jika industry tersebut menjual sahamnya ke publik, maka nilai asetnya akan mengalami depresiasi karena dianggap mempunyai risiko usaha yang tinggi. Risiko akibat kemungkinan membayar kompensasi bagi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya, atau juga membayar proses litigasi yang dihadapinya, atau juga menghadapi tuntutan ganti rugi dari masyarakat yang terkena dampak sangat tinggi. Pemegang saham tidak ingin uangnya habis untuk membiayai masalah tersebut.
Aktor lain, yaitu masyarakat dan pasar, dapat menghukum perusahaan dengan cepat dan telak hanya bermodalkan satu senjata, yaitu informasi. Apalagi kalau informasi tersebut diperoleh dari sumber yang kredibel. Pejabat pengawas lingkungan hidup, yang berintegritas, dengan kewenangan yang dimilikinya mempunyai akses informasi yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Informasi ini sangat ampuh untuk membentuk pencitraan atau reputasi, apalagi kalau informasi tersebut disampaikan dalam bentuk yang sederhana dan mudah diingat. Pencitraan akan semakin melekat dan tersebar luas dalam ingatan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, maka PROPER dikembangkan dengan beberapa prinsip dasar, yaitu peserta PROPER bersifat selektif, yaitu untuk industri yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan dan peduli dengan citra atau reputasi. PROPER memanfaatkan masyarakat dan pasar untuk memberikan tekanan kepada industri agar meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan. Pemberdayaan masyarakat dan pasar dilakukan dengan penyebaran informasi yang kredibel, sehingga dapat menciptakan pencitraan atau reputasi. Informasi mengenai kinerja perusahaan dikomunikasikan dengan menggunakan warna untuk memudahkan penyerapan informasi oleh masyarakat. Peringkat kinerja usaha dan atau kegiatan yang diberikan terdiri dari:
- Emas adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan dalam proses produksi atau jasa, melaksanakan bisnis yang beretika dan bertanggung jawab terhadap masyarakat.
- Hijau adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance) melalui pelaksanaan sistem pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara efisien dan melakukan upaya tanggung jawab sosial dengan baik.
- Biru adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Merah adalah upaya pengelolaan lingkungan yang dilakukan belum sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
- Hitam adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.
Prinsip dasar penilaian PROPER lebih dari ketaatan (Hijau dan Emas) adalah bahwa perusahaan harus memiliki sistem perencanaan, implementasi program dan evaluasi yang baik. Dari sistem yang sudah berjalan tersebut akan melahirkan angka-angka intensitas pemakaian sumberdaya untuk efisiensi energi, penurunan emisi, efisiensi air, penurunan beban pencemaran air, dan 3R limbah B3 serta limbah padat Non B3. Untuk meningkatkan kinerja perusahaan maka PROPER mensyaratkan perusahaan melakukan benchmarking dengan perusahaan lain baik dalam skala nasional, regional ataupun internasional. Benchmarking bertujuan membandingkan angka intensitas perusahaan dengan perusahaan lain untuk mengetahui posisinya apakah sudah efisien atau belum dibandingkan perusahaan lain yang sejenis.
KRITERIA penilaian PROPER terdiri dari dua kategori, yaitu kriteria penilaian ketaatan dan kriteria penilaian lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance) Kriteria penilaian ketaatan menjawab pertanyaan sederhana saja. Apakah perusahaan sudah taat terhadap peraturan pengelolaan lingkungan hidup. Peraturan lingkungan hidup yang digunakan sebagai dasar penilaian saat ini adalah peraturan yang berkaitan dengan :
- Persyaratan dokumen lingkungan dan pelaporannya
- Pengendalian Pencemaran Air
- Pengendalian Pencemaran Udara
- Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya danBeracun (B3)
- Pengendalian Pencemaran Air Laut
- Potensi Kerusakan Lahan
KRITERIA BEYOND COMPLIANCE
Kriteria beyond compliance lebih bersifat dinamis karena disesuaikan dengan perkembangan teknologi, penerapan praktik-praktik pengelolaan lingkungan terbaik dan isu-isu lingkungan yang bersifat global. Penyusunan kriteria yang terkait dengan pelaksanaan PROPER dilakukan oleh tim teknis dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, antara lain: pemerintah kabupaten/kotamadya, asosiasi industri, perusahaan, LSM, universitas, instansi terkait, dan Dewan Pertimbangan PROPER. Aspek-aspek yang dinilai dalam kriteria beyond compliance adalah :
- Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, termasuk di dalamnya bagaimana perusahaan memiliki sistem yang dapat mempengaruhi supplier dan konsumennya untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan baik.
- Upaya Efisiensi Energi dengan mencakup empat ruang lingkup efisiensi energi, yaitu peningkatan efisiensi energi dari proses produksi dan utilitas pendukung, penggantian mesin atau proses yang lebih ramah lingkungan, efisiensi dari bangunan dan sistem transportasi.
- Upaya penurunan emisi, baik berupa emisi kriteria polutan maupun emisi dari gas rumah kaca dan bahan perusak ozon. Termasuk dalam lingkup penilaian ini adalah persentase pemakaian energi terbarukan dalam proses produksi dan jasa, pemakaian bahan bakar yang ramah lingkungan.
- Implementasi Reduce, Reuse dan Recycle limbah B3. Penekanan kriteria ini adalah semakin banyak upaya untuk mengurangi terjadinya sampah, maka semakin tinggi nilainya. Selain itu, semakin besar jumlah limbah yang dimanfaatkan kembali, maka semakin besarpula nilai yang diperoleh perusahaan.
- Implementasi Reduce, Reuse dan Recycle limbah padat non B3 kriteria sama dengan 3R untuk limbah B3.
- Konservasi Air dan Penurunan Beban Pencemaran Air Limbah. Semakin kecil intensitas pemakaian air per produk, maka akan semakin besar nilai yang diperoleh. Demikian juga semakin besar upaya untuk menurunkan beban pencemaran di dalam air limbah yang dibuang ke lingkungan maka akan semakin besar nilai yang diperoleh.
- Perlindungan Keanekaragaman Hayati. Pada dasarnya, bukan jumlah pohon yang dinilai, tetapi lebih diutamakan pada upaya pemeliharaan dan perawatan keanekaragaman hayati. Salah satu bukti bahwa perusahaan peduli dengan keanekaragaman hayati adalah perusahaan memiliki sistem informasi yang dapat mengumpulkan dan mengevaluasi status dan kecenderungan sumberdaya keanekaragaman hayati dan sumberdaya biologis yang dikelola dan memiliki datatentang status dan kecenderungan sumberdaya keanekaragaman hayati dan sumber daya biologis yang dikelola.
- Program Pengembangan Masyarakat. Untuk memperoleh nilai yang baik dalam aspek ini perusahaan harus memiliki program stratetegis untuk pengembangan masyarakat yang didesain untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Program ini didasarkan atas pemetaan sosial untuk menggambarkan jaringan sosial yang memberikan penjelasan tentang garis-garis hubungan antar kelompok/individu. Pemetaan Sosial memberikan informasi mengenai siapa, kepentingannya, jaringannya dengan siapa, dan posisi sosial dan analisis jaringan sosial dan derajat kepentingan masing-masing pemangku kepentingan. Identifikasi masalah sosial, identifikasi potensi (modal sosial) perumusan kebutuhan masyarakat yang akan ditangani dalam program community development dan identifikasi kelompok rentan yang akan menjadi sasaran program pengembangan masyarakat. Rencana strategis pengembangan masyarakat harus bersifat jangka panjang dan dirinci dengan program tahunan, menjawab kebutuhan kelompok rentan dan terdapat indikator untuk mengukur kinerja capaian program yang terukur dan tentu saja proses perencanaan melibatkan anggota masyarakat.